Bahagian II
Didaratan , yang berkuasa atas daerah tempat ketiga nelayan itu bermukim adalah sebuah kerajaandi hulu Sungai Asahan yang bernama Huta Bayu dekat daerah Bandar Pulau Kabupaten Asahan. Didalam kerajaan itu yang memerintah seorang raja yang berasal dari gunung yaitu Tanah Batak yang bernama Raja Margolang. Beliau memerintah di negeri itu jauh sebelum masuknya agama Islam di daerah itu. Kepercayaan yang dianut oleh penduduk negeri itu pada ketika itu adalah " Pelbegu" yaitu takut kepada roh jahat (mambang) yang dapat mengganggu kehidupan dan kebahagiaan hidup didunia ini.
Raja Margolang ini mempunyai seorang putri yang cantik jelita. Baginda Raja sangat menyayanginya dan memanjakan puterinya itu, sehingga puterinya tidak dibenarkan keluar dari istananya, karena taku kalau-kalau diganggu orang jahat, begu atau mati dimakan binatang buas.
Ketika sang Puteri Raja, boru Margolang sedang duduk-duduk dianjungan istana, tiba-tiba ia tersentak oleh suara andungan kesedihan dari kejauhan dengan diiringi suara musik yang sangat memilukan hati Sang Puteri. Hatinya perih mendengar suara yang dibawa oleh angin dari arah laut.
Sang Puteri ingin mengetahui siapakah yang melagukan andungan yang menyedihkan itu. Segera ia memanggil inang pengasuhnya. " Hai mak inang.." panggil sang puteri. "Ampun patik tuan puteri" sahut mak inang pengasuh dengan sembahnya. " coba mak inang selidiki dan cari suara siapakah yang menyanyi andungan yang menyedihkan itu"? kata sang puteri. " Segera patik menjunjung perintah" jawab mak inang
Maka berangkatlah mak inang pengasuh dengan sebuah perahu cukup dengan persediaan perbekalan di jalan, menyusuri sungai Asahan menuju daerah pantai dimana suara itu terdegar.
Setelah hampir sampai sehari di dalam perjalanannya, maka sampailah mak inang di daeah Si Rantau ( sekarang disebut Pantai Ealng di pinggir sungai Silau Kotamadya Tanjung Balai). Terlihat olehnya tiga orang nelayan dengan sampan hitam dan berlayar warna putih. Nelayan yang di dalam sampan itu terus saja menyenandungkan lagu diiringi suara bangsi dan gendang. Mak inang mendengarkan andungan itu, samapi perahu itu menghilang menuju arah Lubuk Cingkam.
Setelah nelayan itu tidak nampak lagi, mak inangpun kembali ke istana untuk melaporkan hasil penglihatannya itu kepada puteri Raja boru Margolang. Mak inang menceritakan seluruhnya tentang apa yang telah dilihatnya dan andungan lagu yang didengarnya, sebagai berikut :
oooooooooo..................
pukullah gendang kulit biawak
sedikitlah tidak berdentum lagi
kamano untung ondak dibawa.....untung badan eeee...
sedikit tidak berubah lagi
oooooooooo..................
apo dikocal didalam padi
piring rotak Indragiri
apolah kosal di dalam hati....nasib badan eee....
sudah rotak takdirnya diri
oooooooooo..............
sayang Singkarak tanah di bondung
di bondung anak Indragiri
bukan salah ibu mengandung....intan payung eee....
sudah rotak permintaan diri
Perkataan andung ini kelak berubah menjadi " Sinandong"
Setelah mendengarkan apa yang telah diceritakan oleh mak inang itu sang puteri pun lalu bersedih dan berlari menemui ayahandanya Baginda Raja, tetapi begitu ia sampai kedalam istana, tuan puteri tertegun melihat ayahandanya dan ibundanya sedang bercumbu rayu, segera tuan puteri berbalik dan berlari kekamarnya mengunci diri dan tidak keluar-keluar lagi. Pikirannya kusut masai, bagaikan ada sesuatu pertentangan bathin yang dihadapinya. Berhari-hari tanpa makan dan minum. Permaisuri Raja mulai gelisah melihat keadaan puterinya , beliau tidak dapat melihat penyakit apa yang diderita puterinya, karena kamar terus menerus terkunci dari dalam dan tak dapat dibuka , walaupun telah berulang kali dipanggil-panggil namun tidak ada sahutan dari dalam kecuali sayup-sayup terdengar isak tangis sang putri.
Permaisuri Raja resah hatinya kalau-kalau penyakit buah hati pengarang jantungnya itu kian bertambah melarat. Hal ini secepatnya disampaikan kepada baginda Raja. Bukan main terkejutnya baginda mendengar hal itu dan beliau cemas kalau-kalau cahaya hatinya itu akan meninggalkannya untuk selama-lamanya.
Baginda Raja memanggil seluruh dayang-dayang untuk dimintai keterangan apakah mereka tahu sebab-musabab penyakit belahan jiwanya itu. Namun tak seorang pun yang dapat menjelaskan asal mula penyakit anandanya yang sangat dimanjanya itu.
Tiba-tiba mak inang pengasuh teringat akan kejadian tentang tiga nelayan yang meng-andungkan lagu yang sangat menyedihkan pada beberapa hari yang lalu. Segera hal itu diceritakannya kepada Baginda Raja tentang apa yang telah terjadi sebenarnya.
Bukan main marahnya Baginda Raja mendengar laporan mak inang itu. Diperintahkannya seluruh hulubalang dan pengawal untuk menangkap tiga orang nelayan yang diceritakan oleh mak inag itu untuk dihadapkan kepada Sri Baginda.
"Ampun patik tuanku, segala perintah telah hamba junjung, dan tiga orang nelayan ini hamba hadapkan ke bawah duli tuanku" Baginda Raja memandang dengan sorot mata yang tajam kepada ketiga nelayan itu.
SINANDONG
Sabtu, 19 Juni 2010
SINANDONG
KISAH ASAL MULA LAGU DIDONG, SINANDONG, ALOBAN CONDONG, TARI GUBANG DAN TARI PATAM-PATAM
Bagian I
Konon menurut cerita yang empunya kisah, ada 3 orang nelayan yang mencari nafkah hidupnya menangkap ikan ke laut.Mereka bertiga dengan sebuah sampan berwarna hitam dengan memakai layar putih yang terbuat dari kain belacu, mengadu nasib dengan pertarungan sengit, dibuai ombak dan hempasan badai. Mereka duduk didalam sampan, seorang duduk di buritan (diberi nama siburitan), seorang duduk ditengah (diberi nama si timba ruang ) dan seorang lagi duduk di muka ( diberi nama si haluan ).
Perahu mereka terombang-ambing oleh angin kencang yang tiada mengenal belas-kasihan terhadap sang nelayan yang hampir kehabisan bekal.
Dari kejauhan terdengar suara berisik, dahan kayu yang bergerak dipukul angin dan suara air yang tak henti-hentinya berdebur di timba ruang perahu. Dengan rasa kecut mereka berpikir tidak akan sampai lagi kelaut. Kalaulah diteruskan mereka akan mati kelaparan.
Dalam rasa gundah-gulana mencekam diri mereka , Si Haluan duduk memegang bangsi (seruling yang dibuat yang dibuat dari bambu). Ia mulai meniup bangsinya ,menirukan suara angin dan suara gesekan kayu dari kejauhan. (Kata "bagese"akhirnya berubah menjadi bangsi) Sedangkan si Timba Ruang terus saja menimba air yang hampir saja memenuhi sampan itu. Seorang lagi yang duduk di buritan mulai putus asa karena kemudi sampan itu hampir-hampir tidak dapat lagi dikendalikannya. Tiba-tiba angin kencang itu mulai reda dan berhenti berhembus. Mereka terkatung-katung dibuai oleh ombak yang sekali-sekali mengangkat sampan meeka itu setinggi-tingginya dan menghempas kembali dengan tiada ampunnya. Siburitan memekik sekuat-kuatnya memanggil dan memuja angin meminta pertolongan, lagu ini akhirnya dinamai lagu "Didong"
Syair lagu itu seperti demikian
OOOOOOOOOOUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUU.................
Bertelur kau sinangin
Bertelur sepanjang pantai
Berhombuslah kau angin
Supaya lokas kami sampai
Lagu Didong adalah lagu memanggil angnin. Sekonyong-konyong angin mulai berhembus lemah, dan mereka mulailah mengembangkan layarnya untuk kembali kedarat. Pulanglah mereka kembali dengan bekal yang hampir habis.
Dalam perjalanan pulang si Buritan pun menyenandungkan akan nasib peruntungnan yang menimpa diri mereka bertiga. Sedangkan si Haluan seolah-olah tidak memperdulikan lagi tentang nasib mereka itu, dan ia telah dihanyutkan oleh angin tiupan bangsinya, yang mengalun-alun mengimbangi andungan si Buritan, si Timba Ruang terus saja melaksanakan tugasnya meimba air air yang masuk kedalam sampan, karena pakal ( tali penyumbat)sampannya ada yang tanggal, yang menyebabkan air masuk ke dalam sampan, sangkin kerasnya ia menimba air itu, tak ubahnya seperti bunyi pukulan gendang. Tingkah perbuatan mereka merupakan suara musik yang sangat merdu didengar dan sangat memilukan hati bagi yang mendengarnya. Kekuatan daya tarik yang membuat lagu ini sangat terkesan dihati disebut "pitunang" yakni orang dapat terpukau dan tak sadarkan diri jika mendengarkan lagu itu. Andungan ini terdengar sampai jauh sekali dibawa angin.
Bagian I
Konon menurut cerita yang empunya kisah, ada 3 orang nelayan yang mencari nafkah hidupnya menangkap ikan ke laut.Mereka bertiga dengan sebuah sampan berwarna hitam dengan memakai layar putih yang terbuat dari kain belacu, mengadu nasib dengan pertarungan sengit, dibuai ombak dan hempasan badai. Mereka duduk didalam sampan, seorang duduk di buritan (diberi nama siburitan), seorang duduk ditengah (diberi nama si timba ruang ) dan seorang lagi duduk di muka ( diberi nama si haluan ).
Perahu mereka terombang-ambing oleh angin kencang yang tiada mengenal belas-kasihan terhadap sang nelayan yang hampir kehabisan bekal.
Dari kejauhan terdengar suara berisik, dahan kayu yang bergerak dipukul angin dan suara air yang tak henti-hentinya berdebur di timba ruang perahu. Dengan rasa kecut mereka berpikir tidak akan sampai lagi kelaut. Kalaulah diteruskan mereka akan mati kelaparan.
Dalam rasa gundah-gulana mencekam diri mereka , Si Haluan duduk memegang bangsi (seruling yang dibuat yang dibuat dari bambu). Ia mulai meniup bangsinya ,menirukan suara angin dan suara gesekan kayu dari kejauhan. (Kata "bagese"akhirnya berubah menjadi bangsi) Sedangkan si Timba Ruang terus saja menimba air yang hampir saja memenuhi sampan itu. Seorang lagi yang duduk di buritan mulai putus asa karena kemudi sampan itu hampir-hampir tidak dapat lagi dikendalikannya. Tiba-tiba angin kencang itu mulai reda dan berhenti berhembus. Mereka terkatung-katung dibuai oleh ombak yang sekali-sekali mengangkat sampan meeka itu setinggi-tingginya dan menghempas kembali dengan tiada ampunnya. Siburitan memekik sekuat-kuatnya memanggil dan memuja angin meminta pertolongan, lagu ini akhirnya dinamai lagu "Didong"
Syair lagu itu seperti demikian
OOOOOOOOOOUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUU.................
Bertelur kau sinangin
Bertelur sepanjang pantai
Berhombuslah kau angin
Supaya lokas kami sampai
Lagu Didong adalah lagu memanggil angnin. Sekonyong-konyong angin mulai berhembus lemah, dan mereka mulailah mengembangkan layarnya untuk kembali kedarat. Pulanglah mereka kembali dengan bekal yang hampir habis.
Dalam perjalanan pulang si Buritan pun menyenandungkan akan nasib peruntungnan yang menimpa diri mereka bertiga. Sedangkan si Haluan seolah-olah tidak memperdulikan lagi tentang nasib mereka itu, dan ia telah dihanyutkan oleh angin tiupan bangsinya, yang mengalun-alun mengimbangi andungan si Buritan, si Timba Ruang terus saja melaksanakan tugasnya meimba air air yang masuk kedalam sampan, karena pakal ( tali penyumbat)sampannya ada yang tanggal, yang menyebabkan air masuk ke dalam sampan, sangkin kerasnya ia menimba air itu, tak ubahnya seperti bunyi pukulan gendang. Tingkah perbuatan mereka merupakan suara musik yang sangat merdu didengar dan sangat memilukan hati bagi yang mendengarnya. Kekuatan daya tarik yang membuat lagu ini sangat terkesan dihati disebut "pitunang" yakni orang dapat terpukau dan tak sadarkan diri jika mendengarkan lagu itu. Andungan ini terdengar sampai jauh sekali dibawa angin.
SEKAPUR SIRIH
Tanjung Balai kota bertuah
Tepak sirih pembawa kata
Kita mulai dengan Bismillah
Mari ikuti wahai pembaca
Kotamadya sikota kerang
Pulau simardan anak durhaka
Sudah lama belum terkarang
Cerita lama punya legenda
Pantai Burung, beting Simelur
Pantai Elang bentengnya pecah
Lagu didong menurut tutur
Memanggil angin nelayan susah
Desa si Jambi banyak kelapa
Jalan utama memasuki kota
Sinandong lagu tradisional kita
Perlu dibina sepanjang masa
Teluk nibung pelabuhan kota
Kapal merapat dekat dermaga
Aloban condong kesenian kita
Bakal mendapat pujian bangsa
Desa Kapias Pulau Buaya
Titi gantung titinya dua
Patam-patam nama tarinya
Tari lama anak remaja
Selat lancang airnya dalam
Tempat orang menghanyutkan lancang
Tari Gubang masa yang silam
Sebagai syarat menyiarkan mambang
Sungai Raja kebun kelapa
Tanahnya subur tempat bertani
Kesenian Tradisional perlu dibina
Untuk menghibur sedihnya hati
Pematang Kapias Batu Delapan
Desa Baru masuk perluasan
Legenda lama kami kisahkan
Agar pembaca mendapat kesan
Karya : A.RAHIM MAHA, BA (Alm)
Januari 1989
(untuk mengenang beliau yang memiliki perhatian terhadap kesenian dan budaya melayu pesisir terutama wilayah Tanjung Balai, Asahan, Batubara , Labuhan Batu )
Pulau simardan anak durhaka
Sudah lama belum terkarang
Cerita lama punya legenda
Pantai Burung, beting Simelur
Pantai Elang bentengnya pecah
Lagu didong menurut tutur
Memanggil angin nelayan susah
Desa si Jambi banyak kelapa
Jalan utama memasuki kota
Sinandong lagu tradisional kita
Perlu dibina sepanjang masa
Teluk nibung pelabuhan kota
Kapal merapat dekat dermaga
Aloban condong kesenian kita
Bakal mendapat pujian bangsa
Desa Kapias Pulau Buaya
Titi gantung titinya dua
Patam-patam nama tarinya
Tari lama anak remaja
Selat lancang airnya dalam
Tempat orang menghanyutkan lancang
Tari Gubang masa yang silam
Sebagai syarat menyiarkan mambang
Sungai Raja kebun kelapa
Tanahnya subur tempat bertani
Kesenian Tradisional perlu dibina
Untuk menghibur sedihnya hati
Pematang Kapias Batu Delapan
Desa Baru masuk perluasan
Legenda lama kami kisahkan
Agar pembaca mendapat kesan
Karya : A.RAHIM MAHA, BA (Alm)
Januari 1989
(untuk mengenang beliau yang memiliki perhatian terhadap kesenian dan budaya melayu pesisir terutama wilayah Tanjung Balai, Asahan, Batubara , Labuhan Batu )
Langganan:
Postingan (Atom)